Burnout telah menjadi fenomena global, terutama di kalangan tenaga kerja yang menghadapi tekanan tinggi secara terus-menerus. Salah satu tokoh yang kisahnya menginspirasi banyak orang dalam menghadapi burnout adalah https://nurseamyosullivan.com/, seorang perawat dari Brooklyn, New York, yang menjadi simbol ketahanan mental selama pandemi COVID-19. Namanya dikenal luas setelah wajahnya muncul di sampul majalah TIME sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh tahun 2020.
Namun, di balik sorotan media dan penghargaan, Amy juga mengalami kelelahan fisik dan mental yang luar biasa. Dari pengalamannya bertugas di garis depan selama krisis kesehatan global, Amy membagikan sejumlah kiat penting untuk mengatasi burnout yang relevan bagi siapa saja — tidak hanya tenaga kesehatan, tetapi juga pekerja dari berbagai sektor yang merasa kewalahan dengan tekanan kerja.
1. Menerima Bahwa Kita Tidak Selalu Bisa Mengendalikan Segalanya
Amy menekankan pentingnya menerima bahwa tidak semua hal berada dalam kendali kita. Saat pandemi melanda dan rumah sakit kewalahan dengan jumlah pasien, ia belajar untuk fokus pada hal-hal yang bisa ia lakukan, alih-alih merasa bersalah atas hal-hal yang berada di luar kemampuannya.
Kiat ini menjadi sangat penting dalam menghadapi burnout. Ketika kita merasa gagal karena tidak bisa “menyelamatkan” semua hal, kita justru mempercepat kelelahan emosional. Fokus pada kontribusi yang nyata, meskipun kecil, dapat membantu menjaga kestabilan mental.
2. Mengutamakan Perawatan Diri (Self-Care) Bukan Egois, Tapi Perlu
Banyak pekerja, terutama di bidang pelayanan publik, mengabaikan kebutuhan pribadi demi orang lain. Amy menyadari bahwa jika ia tidak menjaga kesehatannya sendiri, ia tidak akan mampu merawat pasien dengan baik. Ia mulai menjadikan waktu istirahat, tidur cukup, makan bergizi, dan berbicara dengan orang yang ia percayai sebagai prioritas.
Perawatan diri bukanlah kemewahan, tapi kebutuhan esensial. Jika tubuh dan pikiran terus dipaksa bekerja tanpa henti, burnout akan menjadi tak terhindarkan.
3. Mencari Dukungan Sosial dan Emosional
Amy sangat terbuka tentang pentingnya dukungan dari rekan kerja, keluarga, dan komunitas. Ia menyatakan bahwa berbicara dengan sesama perawat tentang pengalaman yang dialaminya sangat membantu dalam mengurangi beban emosional.
Burnout sering kali membuat seseorang merasa sendirian dan terisolasi. Padahal, berbagi cerita atau sekadar didengarkan bisa menjadi cara yang efektif untuk meredakan tekanan batin.
4. Temukan Makna dalam Apa yang Dikerjakan
Selama masa-masa sulit, Amy tetap mengingat alasan mengapa ia menjadi perawat: untuk membantu orang lain. Meskipun tugasnya sangat berat, ia menemukan makna dalam setiap tindakan kecil yang bisa ia lakukan untuk pasien.
Makna dalam pekerjaan adalah salah satu faktor pelindung terhadap burnout. Saat seseorang merasa bahwa apa yang ia lakukan memiliki tujuan yang lebih besar, semangat dan ketahanan mental akan lebih terjaga.
5. Berani Mengakui Saat Perlu Istirahat
Salah satu pelajaran penting dari Amy adalah bahwa tidak ada salahnya untuk mundur sejenak. Ia tidak ragu mengambil waktu untuk beristirahat ketika merasa fisik dan mentalnya benar-benar terkuras. Keberanian untuk mengakui kelemahan justru adalah bentuk kekuatan yang sesungguhnya.
Burnout tidak hilang dengan terus memaksakan diri. Mengambil jeda bisa menjadi langkah awal pemulihan yang efektif.
Pengalaman Amy O’Sullivan mengajarkan kita bahwa burnout bukanlah tanda kelemahan, melainkan sinyal bahwa tubuh dan pikiran membutuhkan perhatian. Dengan langkah-langkah seperti menerima kenyataan, merawat diri, mencari dukungan, dan menemukan makna dalam pekerjaan, kita bisa menghadapinya dengan lebih sehat dan tangguh.
Bukan hanya para pahlawan seperti Amy yang berhak merasa lelah — siapa pun kita, berhak untuk berhenti sejenak dan bernapas. Karena dari sana, kita bisa kembali melangkah dengan kekuatan yang baru.